Rabu, 18 Desember 2013

Hari ke-3 di Arjuno

Di dalam tenda cewek sombong, tengah malam, ada 1 cewek yang  gak bisa tidur karena gak pakai kaos kaki, kakinya dingin, cewek itu adalah saya, sesekali hampir terpejam tiba-tiba cak Eko bilang 'wes gak usah turu, ngko muncak ambe Biga', begitu kata cak Eko terus-terusan muncul di mimpiku, sampai jam 3 pagipun masih belum bisa terpejam, saat mataku terpejam sebentar, di luar tenda sudah rame, 'Hei sudah hampir pecah warna langit 1 Desember 2013', lek Gun sedang ngomong sama Dion.

Lek Gun membangunkan kami para cewek, dengan segelas susu di tangannya, romantis sekali ya membangunkan lengkap dengan susu yang diberikan kepada kami, suwun lek Gun.

Langit masih gelap, ini jam 4:00 Wib, mari menuju 3339 Mdpl, dari tempat kami ngecamp kami masih butuh waktu sekitar setengah jam karena jalan masih gelap, kami membawa headlamp dan senter beberapa.

Sampailah kami di bendera yang ditancapkan di puncak G.Ajuno 3339 Mdpl, terukir senyum dari semua peserta pagi itu, kami saling mengucapkan selamat, kami sangat lega, sangat bahagia, terharu, inlah puncak Arjuno 3339 Mdpl teman-teman, dengan kilauan cahaya keemasan pagi wajah kami bersinar, kami menatap sang surya di ketinggian ini, kami menjemputnya, Suwun lagi Tuhan atas kesempatan ini.



Lautan awan menghampar luas, coba awan itu bisa kami titi, sudah pasti kami lompat-lompat disana, Diarah timur itu, terlihat Sang Mahameru masih gagah berdiri, dan masih berselimut awan, diarah utara kami melihat putri tidur yang anggun dan cantik itu sedang berselimut awan, wow bisa kalian bayangkan betapa sangat hmmm sekali ciptaan Tuhan.


Patilah kami sibuk dengan berfoto, senyum, ah dengan gaya masing-masih kami sibuk dengan berfoto-berfoto,berfoto, ada yang gaya lompat, ada yang gaya bersalaman, ada yang gaya menulis nama di tangan, ada yang hormat bendera, wes pokoke lengkap.


Rasanya belum lengkap kalau belum berfoto duduk di batu tepian turang, waktu itu Biga duluan, setelah Biga Juna, dan giliran saya akan menapaki batu tepian itu, ada yang tau apa yang selanjutnya terjadi? di suhu yang dingin biasanya yang punya linu-linu kumat, seperti sakit gigi, engkel, bekas cidera, dan bekas cidera saya kumat, heuheuheu

Bebatuan ini sangat indah meskipun minus watu ogal-agilnya Arjuno, menjadi saksi bisu saat saya duduk kesakitan menyandar pada Juna, dan pada saat itu memang hanya ada Juna dan cak Eko, peserta yang lain berfoto jauh dari kami, sedangkan Biga sudah melipir setelah berfoto disini, cak Eko sudah siap menjepret saya dari bawah, tapi karena cak Eko gak ngerti ada apa dengan saya, cak Eko masih di angle-nya menunggu saya berdiri.


Juna: Dee, kenapa Dee?
Saya: Tolong pengangin tanganku Jun
Juna: kenapa tanganmu? (nada panik at the disco)

Setelah itu saya sudah gak bisa berkata-kata lagi, tapi sedikit meraung seperti kidang yang gak bisa meraung seperti srigala, saya menyandar pada Juna, menikamti linu yang luar biasa, sulit bernafas, lalu diam. cak Eko yang menungguku berpose akhirnya bertanya 'kenopo? kenopo?', saya dan Juna sama-sama diam, cak Eko menghampiri kami, saya minta tolong cak Eko memegangi tangan saya sekuat-kuatnya, lalu Mb.Anik datang 'kenopo Mol?'

Juna: Mbak tolong ambilkan air mbak, aku mual, awakku adem panas

Setelah Mb.Anik sudah mengambil air, saya masih menyandar pada Juna, eh Juna pingsan, yoopo iki? sing loro sopo sing pingsan sopo, lalu cak Eko yang memegangi tanganku malah ketambahan tugas memegangi Juna, kasihan cak Eko, kami berempat diam saja, tanpa ngapa-ngapain, saya masih kesakitan, Juna masih pingsan, tapi saya bilang ke cak Eko 'wes cak tanganku wes waras, sampean sadarno Juna sik ae'.

Ditengah-tengah moment terdiam itu, Biga datang 'opoo se?', tapi kami semua diam, tak satupun ada yang menjawab pertnyaan Biga, cak Eko bingung, saya gak bisa ngomong, Juna pingsan, dan Mb.Anik ikut diam, lalu Biga pergi lagi, Biga merasa kami gak kenapa-napa yowis Biga foto-foto lagi sama yang lain.

Batu dimana saya dan Juna duduk adalah 2 batu yang mempunyai sela-sela lubang, waktu cak Eko mau memindahkan Juna ketempat yang lebih aman, eh kaki Juna nyangkut di sela-sela lubang di batu itu, py to ki? aduuhh saya gak bisa ngapa-ngapain lagi. akhirnya Juna bisa dipindahkan ketempat yang lebih luas, dan saya masih diatas batu dengan acting sudah sembuh, tapi tetep aja gak bisa turun.

Biga datang lagi dan tahu Juna pingsan, Biga memangku Juna, selama kurang lebih 10 menitan, saya melihat Juna pucat, mb. Anik mengoleskan minyak kayu putih, gak tahu dimananya, Biga menyuruhnya bangun, cak Eko juga, saya nyuruh mb.Anik menekan tangan juna, disela-sela antara jempol dan jari telunjuk tapi mb.Anik hanya memeganginya bukan menekannya.

Aku gak srantan suwe-suwe, dengan sedikit berusaha sendiri, saya menuruni batu itu, Juna tak tampar, bentak 'Jun tangi Jun', saya tekan tangannya, sebayak 3 kali sebelum akhirnya Juna bangun. Suwun Tuhan

Sekarang ganti saya yang jadi pusat perhatian, baru kali ini jadi pusat perhatian kaya begini ni, saya tertunduk, pada tepatnya menunduk, ketika dipijat Dion, sakitnya sungguh asyik, tiba-tiba di mata ini keluar air, yek aku nagis own, ngguilani, umbelen pisan aduuuhh Dee Dee, gak mbois blas

Lumayan lama sih meraung, menangis, nunduk terus, sampai mas-mas rombongan dari Malang memberi saya balsem, setelah diolesi balsem sama Mb.Anik agak mendingan sakitnya, ketika teman-teman tahu saya agak mendingan, Juna, cak Eko, Biga, lek Gun, mas Deden, Max dan Yoga kembali ke tenda dan mereka bersiap-siap packing. sedangkan saya gak ikut turun karena kondisi lengan belum memungkinkan, masih semplah, ogal-agil tangan ini, belum bisa berdiri tegak, belum sanggup berjalan gagah, saya ditemani mb.Anik dan Dion.

Juna jadi kerepotan ngringkesi barangku sama barang mb.Anik sendirian, maap Jun kali ini bintang filmnya saya, jadi terimakasih sudah berbaik hari ngringkasi barang bawaanku sekaligus barang bawaan mb. Anik.

Saya leyeh-leyeh saja diatas batu waktu itu, batunya dingin, linunya jadi semakin anu, matahari semakin tinggi, semakin panas, tapi saya pernah dengar hangatnya matahari itu bisa buat sembuh linu-linu, saja jemur saja pundak ini, sambil duduk, agak lama saya bangun, tak terasa ternyata rasa linunya sudah hilang, teori matahari itu tepat sekali, akhirnya saya bisa senyum lagi padahal saya sudah takut gak bisa turun dengan kondisi seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar